wayang kulit

Kurangnya Peminat Pengrajin Wayang Kulit

Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke beberapa tempat pengrajin wayang kulit yang ada di Jawa tengah dan Yogyakarta. Hampir sama yang saya lihat, yaitu yang mengerjakan tatah sungging wayang kulit rata-rata berusia tua, hanya satu dua yang boleh dikatakan berusia muda.

Pertama kali saya datang di Kuwel, Polanharjo, Delanggu, yang merupakan salah satu sentral pembuatan gagang dan wayang kulit di Klaten – Jawa Tengah akhir tahun 90 an, puluhan pesungging asyik menatah kulit untuk dijadikan sebuah wayang. Namun, kali ini saya hanya melihat 3 orang saja, itupun anak dari pemilik tatah sungging wayang kulit.

Pengrajin tatah sungging wayang kulit boleh jadi tidak lagi mendapat tempat di kalangan anak muda sebagai profesi pekerjaan.

“Sulit Mas, mencari pengrajin wayang kulit sekarang,” ujar Pak Bowo yang pernah hidup di Jakarta sebagai pengrajin wayang kulit di TMII. Akhirnya ilmunya diwariskan kepada anak dan menantunya.

“Sekarang anak muda lebih banyak memilih buruh pabrik daripada jadi pesungging karena upah membuat wayang belum pasti,” lanjutnya. Apalagi untuk mengerjakan tatah sungging wayang kulit dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran yang tinggi. Untuk mendapatkan sebuah wayang yang “halus” bisa memakan waktu sampai 3-5 bulan.

Peminat Pengrajin Wayang Kulit

Ketika singgah di rumah Bapak Sugio di Dusun Gendeng, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan Desa Wisata Kerajinan Wayang kulit, persoalannya sama, yaitu Peminat Pengrajin Wayang Kulit menurun, terutama dari generasi muda.

Peminat Pengrajin Wayang Kulit

“Dulu, saat zamannya Pak Harto (Presiden RI) banyak anak muda yang ingin belajar di sini, sampai ruangan penuh. Namun saat ini jauh berbeda,” kenang pak Sugio.

Kerajinan wayang kulit di Dusun Gendeng, Desa Bangunjiwo sempat berjaya ketika Presiden Soeharto berkuasa. Para pengrajin dapat dikatakan mampu hidup lebih dari cukup dari hasil membuat wayang. Bahkan bisa dikatakan upah buruh pengrajin wayang kulit masih lebih tinggi dari gaji guru pada waktu itu. Presiden Soehatro adalah seorang pecinta kesenian wayang kulit, sehingga beliau juga ikut serta mengenalkan dan mempromosikan wayang kulit di Dusun Gendeng.

Saat ini, produksi wayang kulit semakin tenggelam dan tidak mampu mengulang kembali periode kejayaan semasa dulu. Meskipun jumlah pembeli tidak seperti dulu, namun masih ada orang yang mencari wayang kulit “berkualitas”, kebanyakan adalah para kolektor seni, yang faham betul tentang kualitas wayang.

Selebihnya, permintaan wayang kulit hanya sebagai komoditas souvenir belaka bukan lagi sebagai sarana pertunjukan wayang kulit yang juga semakin jarang diadakan.

Saya tidak mengulas apalagi meneliti mengapa Kurangnya Peminat Pengrajin Wayang Kulit terutama dari golongan generasi penerus bangsa. Setiap orang punya cara tersendiri untuk menjadi luar biasa, itu dimulai dari menaklukkan diri sendiri seperti kata iklan minuman berenergi 🙂

 

Kurangnya Peminat Pengrajin Wayang Kulit – Kang Andre

Blog Kang Andre

About the Author: Kang Andre

Cuma seorang amatir yang mencoba membuat blog untuk menulis online. Mana suka, suka-suka, suka mana. :)

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *